Pengembangan Model Pelatihan dan Materi Pelatihan Penerjemahan Berbasis Kompetensi Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Penerjemah di Surakarta dan Yogyakarta.

Kata kunci :      interpreter, teks bahasa Inggris, penerjemahan berbasis kompetensi.

Nababan, Mangatur; Ngadisi; Santoso, Riyadi*)
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Penelitian, Dikti, Hibah Bersaing Lanjutan, 2007.

Penelitian tahun kedua ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun pertama.  Hasil analisis data pada penelitian tahun pertama menunjukkan hal-hal berikut. Pertama, para penerjemah di dua wilayah tersebut mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup memadai untuk menjadi penerjemah. Namun, kemampuan mereka dalam memahami teks bahasa Inggris yang dibangun dari kalimat-kalimat yang kompleks masih kurang. Keterlibatan mereka dalam pengembangan profesi sangat minim. Kedua, pengetahuan mereka tentang konsep dan proses penerjemahan sangat memadai meskipun pengetahuan tersebut tidak selalu mereka terapkan pada saat menerjemahkan. Dengan kata lain, terjadi kesenjangan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Ketiga, pendekatan penerjemahan yang mereka terapkan cenderung bersifat bottom-up, yang ditandai oleh  kurangnya pertimbangan mereka perihal tujuan terjemahan, sasaran terjemahan. Keempat, karena pendekatan yang mereka gunakan cenderung bersifat bottom-up, pemahaman teks bahasa sumber secara menyeluruh sebelum penerjemahan dimulai cenderung mereka abaikan. Sebagai akibatnya, acapkali timbul kesalahan dalam menafsirkan teks bahasa sumber, yang pada gilirannya menimbulkan kesalahan dalam memilih kata, istilah, dan konstruksi kalimat dalam terjemahan mereka. Kelima,  para penerjemah belum memahami sepenuhnya konsep keberterimaan (acceptability) dan keterbacaan. Padahal, kedua aspek tersebut merupakan bagian atau sifat penting dari terjemahan yang berkualitas. Keenam, strategi penerjemahan yang mereka miliki masih sangat terbatas dalam memecahkan ketidaksepadanan baik pada tataran kata, di atas tataran kata, padanan gramatikal, padanan tekstual maupun pada tataran pragmatik.
Pada akhir tahun pertama dapat dikembangkan prototip model pelatihan dan model materi pelatihan penerjemahan online casino berbasis kompetensi. Pengembangan tersebut dilakukan melalui studi pustaka, observasi, lokakarya, dan Focus Group Discussion (FGD). Prototip model pelatihan dan materi pelatihan penerjemahan tersebut kemudian dikembangkan dan diujicobakan. Dalam kaitan itu, penelitian tahun kedua (Tahap II)  ini secara khusus bertujuan (1) untuk mengetahui  kebutuhan-kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh penerjemah di Surakarta dan Yogjakarta dalam meningkatkan kompetensi mereka di bidang penerjemahan (2) untuk mengetahui tanggapan-tanggapan stakeholders penerjemahan (pakar penerjemahan, dosen penerjemahan, penerbit) perihal model pelatihan dan materi pelatihan penerjemahan, yang paling tepat untuk diterapkan, dan (3) untuk menghasilkan model pelatihan dan materi pelatihan penerjemahan, yang didasarkan pada latar belakang dan kompetensi penerjemah.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-kualitatif. Sumber datanya berupa dokumen (teks bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia), stakeholders penerjemahan (yang terdiri atas pakar penerjemahan, dosen penerjemahan, penerbit) dan penerjemah yang bekerja di biro-biro penerjemahan di Surakarta dan Yogjakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner, wawancara mendalam, dan analisis isi (content analysis). Informan penelitian dicuplik dengan menerapkan criterion-based sampling technique.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data penelitian, peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, para penerjemah pemula lebih cenderung membutuhkan peningkatan kompetensi kebahasaan dalam ruang lingkup sintaksis. Sementara itu, para penerjemah tingkat lanjutan lebih menekankan perlunya kompetensi kebahasan pada tataran tekstual dan kompetensi budaya. Para penerjemah tingkat pemula dan tingkat lanjutan juga membutuhkan kompetensi strategi dan transfer. Kedua, ketiadaan sarana dalam bentuk pelatihan penerjemahan merupakan faktor penghambat utama yang dialami para penerjemah pemula dalam meningkatkan kompetensi penerjemahan mereka. Faktor lainnya adalah kurang aktifnya mereka dalam mengikuti pelatihan-pelatihan yang relevan dengan penerjemahan, seperti pelatihan menulis karya ilmiah. Sebaliknya, para penerjemah tingkat lanjutan tidak begitu mengalami kesulitan dalam meningkatkan kompetensi penerjemahan mereka kecuali dalam hal persoalan ungkapan-ungkapan budaya dan istilah teknis serta referensi tentang istilah teknis. Ketiga, secara umum model pelatihan yang ditawarkan ditanggapi secara positif oleh stakeholders bahwa model pelatihan bagi penerjemah pemula sebaiknya bergerak dari tataran mikro ketataran makro (bottom-up) dan model pelatihan bagi penerjemah tingkat lanjutan bergerak dari tataran makro ke mikro (top-down) dengan mempertimbangkan derajat kesulitan dan  keberagaman teks yang akan diberikan sebagai bahan latihan dengan tujuan untuk  mendorong peningkatan subject matter competence mereka.