Teknik Pengeringan Jamur dengan Memanfaatkan Efek Rumah Kaca dan Efek Rumah Kaca dan Energi Suplemen Biobriket Limbah Log Bag dalam Rangka Peningkatan Eksport.

Kata kunci : pengeringan jamur, efek rumah kaca, biobriket.

Kristiawan, Budi; Tambunan, Armansyah H; Ramelan, Ari Handono*)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNS, Penelitian, Dikti, Hibah bersaing Lanjutan, 2007.

PROSES PENGERINGAN DENGAN BIOBRIKET
Pengujian pengeringan jamur dengan menggunakan pembakaran biobriket dilakukan dengan membandingkan empat macam briket, yaitu : briket batubara yang dibeli di pasaran, dan tiga jenis briket yang dibuat dari campuran batu bara dan limbah log bag. Jenis biobriket dari limbah log bag dibedakan dari komposisi campuran antara batu bara dan limbah log bag. Bahan pengikat (binder) yang digunakan digunakan tetes tebu (molases) yang banyak tersedia di sentra industri alkohol Bekonang, Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Pengambilan data dilakukan mulai jamur masih dalam keadaan segar sampai jamur mencapai kondisi kering dan siap jual. Penurunan massa jamur diukur tiap 30 menit dengan timbangan digital dan properti udara dalam rumah kaca diamati dari waktu ke waktu, yaitu temperatur udara yang masuk ruang pengering dan yang keluar ruang pengering.
Proses pengeringan dengan briket dilakukan pada sebuah model pengering yang tujuannya untuk mengetahui kecepatan pembakaran briket dan kecepatan penurunan massa jamur yang dikeringkan. Sampel jamur kuping yang digunakan sebesar 1 kg dengan 4 jenis briket yang digunakan untuk proses pengeringan. Jenis briket yang digunakan adalah : briket batubara yang dibeli di pasaran, biobriket 75% batubara 25% log , 50% batubara 50% log dan 25% batubara dan 75% log. Pembakaran briket dilakukan pada sebuah tungku yang memanaskan sebuah alat penukar kalor. Panas yang diserap dalam sebuah alat penukar kalor kemudian dialirkan masuk ke dalam ruang pengeringan dengan bantuan aliran udara sebesar 2 m/s dari sebuah kipas. Massa tiap briket yang digunakan sebanyak 4 kg dengan pembakaran setiap 1 kg briket.
Pada pembakaran dengan briket batubara, kecepatan pembakaran yang semakin menurun akan menghasilkan temperatur lebih rendah. Pada saat kecepatan pembakaran mencapai nilai paling tinggi dari suatu waktu, maka temperatur yang dihasilkan juga tinggi. Temperatur udara maksimum yang dihasilkan di ruang pengering untuk pembakaran briket batubara mencapai 74 oC pada saat kecepatan pembakaran 1,8 kg/jam dan terendah mencapai 39 oC pada saat kecepatan pembakaran mencapai 0,141 kg/jam.
Kecepatan pembakaran biobriket 75% batubara dan 25% log semakin menurun akan menghasilkan temperatur lebih rendah. Tetapi kurvanya lebih rapat dibandingkan pada briket batubara. Hal ini menunjukkan bahwa untuk berat yang sama lama pembakaran biobriket ini lebih pendek dibandingkan dengan briket batubara. Temperatur udara maksimum yang dihasilkan di ruang pengering mencapai 81 oC pada saat kecepatan pembakaran 1,488 kg/jam dan terendah mencapai 40 oC pada saat kecepatan pembakaran mencapai 0,678 dan 0,602 kg/jam.
Kecepatan pembakaran biobriket 50% batubara dan 50% log mempunyai kurva lebih rapat dari pada sebelumnya Hal ini menunjukkan bahwa untuk berat yang sama lama pembakaran biobriket ini lebih pendek dibandingkan dengan briket batubara. Dengan massa yang sama 4 kg biobriket ini hanya mampu menyalakan api selama 7,5 jam. Temperatur udara maksimum yang dihasilkan di ruang pengering mencapai 68 oC pada saat kecepatan pembakaran 0,66 kg/jam dan terendah mencapai 40 oC pada saat kecepatan pembakaran mencapai 0,43 kg/jam.
Pada gambar pembakaran biobriket 25% batubara dan 75% log mempunyai kurva lebih rapat dari pada sebelumnya Hal ini menunjukkan bahwa untuk berat yang sama lama pembakaran biobriket ini lebih pendek dibandingkan dengan briket batubara. Dengan massa yang sama 4 kg biobriket ini hanya mampu menyalakan api selama 6 jam. Temperatur udara maksimum yang dihasilkan di ruang pengering lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu mencapai 84 oC pada saat kecepatan pembakaran 0,804 kg/jam dan terendah mencapai 52 oC.
Kecepatan pengeringan jamur pada penggunaan biobriket 75% batubara 25% log mampu menghasilkan gradien massa jamur yang cukup tajam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan biobriket jenis ini mampu melepaskan kadar air pada jamur dengan cepat. Lama pembakaran untuk 4 kg biobriket mampu mencapai 7,5 jam. Kecepatan pengeringan rata-rata untuk briket jenis ini cpaling tinggi dibandingkan dengan tiga jenis yang lain, yaitu kecepatan pengeringan rata-rata mencapai 0,2308 kg/jam.  Berat awal jamur pada percobaan dengan menggunakan biobriket ini adalah 1 kg dan selama 7,5 jam proses pengeringan berat jamur turun hingga mencapai 0,176 kg. Kecepatan pengeringan terendah justru terjadi pada briket batubara sebesar 0,1791 kg/jam. Tetapi pembakaran briket batubara mampu mencapai 9 jam. Berat awal jamur sebelum pengeringan dimulai sebesar 1 kg dan selama 9 jam proses pengeringan turun mencapai hingga 0,146 kg.
Dari hasil analisis terlihat jelas bahwa penambahan 25% limbah log pada campuran kompisisi biobriket menghasilkan kecepatan pengeringan yang paling tinggi walaupun lama pembakaran lebih pendek dari briket batu bara. Akan tetapi perbandingan ini lebih diungkap lebih dalam lagi apakah kalau bahan baku briket batu bara sama dengan bahan untuk membuat biobriket. Hal ini menyangkut juga nilai kalor yang dipunyai batu bara berbeda-beda.

PROSES PENGERINGAN DENGAN MATAHARI
Intensitas radiasi diukur dengan menggunakan pyranometer dan temperatur diukur berdasarkan temperatur bola kering dan bola basah. Pada saat yang sama dilakukan juga proses pengeringan secara tradisional atau penjemuran langsung di bawah terik matahari. Properti udara di luar rumah kaca dan penurunan massanya diamati.
Perbandingan antara besarnya intensitas radiasi di dalam dan di luar rumah kaca dari waktu ke waktu. Untuk lama pengeringan 5,5 jam dihasilkan intensitas radiasi rata-rata yang masuk ke dalam rumah kaca sebesar 266,92 W/m2. Intensitas radiasi sebesar ini digunakan untuk memanaskan udara di dalam rumah kaca. Sedangkan intensitas radiasi rata-rata di luar rumah kaca mencapai 403,42 W/m2. Hal ini berarti bahwa tidak semua radiasi matahari ditransmisikan masuk ke dalam rumah kaca, tetapi hanya sebesar 66,16% saja masuk ke dalam rumah kaca. Sedangkan sisanya 33,84% dari intensitas radiasi matahari sebagian diserap (absorpsi) dan sebagian dipantulkan (refleksi) oleh kaca.
Perbandingan temperatur udara di dalam rumah kaca dan diluar rumah kaca. Pada gambar tersebut terlihat bahwa temperatur rata-rata  yang dihasilkan di dalam rumah kaca lebih besar dibandingkan di luar rumah kaca. Temperatur udara rata-rata di dalam rumah kaca sebesar 42,13 oC, sedangkan temperatur udara rata-rata di luar rumah kaca mencapai 40,46 oC. Temperatur udara di dalam rumah kaca meningkat 4,2% dibandingkan dengan temperatur udara di luar rumah kaca. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan temperatur udara di dalam model ruang pengering akibat adanya efek rumah kaca. Sehingga secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan efek rumah kaca pada model ruang pengering dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif dalam proses pengeringan.
Hubungan antara gradien massa jamur dan intensitas radiasi di dalam rumah kaca dari waktu ke waktu. Dengan intensitas radiasi rata-rata yang dihasilkan di dalam rumah kaca sebesar 266,92 W/m2 dan temperatur udara rata-rata sebesar 42,13 oC didapatkan kecepatan pengeringan jamur kuping sebesar 0,03763 gr/jam.
Hubungan antara gradien massa jamur dan intensitas radiasi di dalam rumah kaca dari waktu ke waktu. Dengan intensitas radiasi rata-rata yang dihasilkan pada penjemuran langsung di bawah terik matahari sebesar 403,42 W/m2 dan temperatur udara rata-rata sebesar 40,46 oC didapatkan kecepatan pengeringan jamur kuping sebesar 0,03966 gr/jam. Dari hasil analisa terlihat bahwa kecepatan pengeringan pada efek rumah kaca lebih lambat dibandingkan dengan penjemuran langsung walaupun mempunyai intensitas radiasi dan temperatur udara lebih tinggi. Hal ini disebabkan kadar air awal pada saat mulai pengeringan kondisinya tidak sama.