Model Mitigasi Bencana Awan Panas Gunung Api Merapi Dengan Pendekatan Sensitivitas Terhadap Bahaya Lingkungan.

Kata Kunci :     Kepekaan penduduk terhadap bahaya; Dinamika keterbukaan fisik dan kerentanaan terhadap bahaya; Kelentingan terhadap bahaya.

Yusuf, Yasin; Sugiyanto; Hadi, Partoso*)
Fakultas KIP UNS, Penelitian, Dikti, Hibah Bersaing, 2007.

Kawasan gunungapi merupakan daerah pertanian yang subur dan selalu padat penduduk. Meskipun banyak terjadi bencana, penduduk yang menghuni dan bekerja di  lereng Gunungapi bertambah banyak. Saat aktivitas G. Merapi meningkat menjadi awas sebagian besar penduduk tidak mau mengungsi bahkan sebagian penduduk melakukan aktivitas sebagaimana biasanya saat kondisi normal. Penelitian ini bertujuan : 1) mengetahui keterbukaan fisik masing-masing sektor lereng terhadap bahaya letusan gunungapi; 2) mengetahui kerentanan penduduk terhadap bahaya letusan gunungapi di KRB II dan III.
Penelitian ini menggunakan metode historis dan eksplanatif. Metode historis digunakan untuk mengetahui keterbukaan fisik terhadap bahaya erupsi  dan dinamika kerentanan pada abad 19 dan 20. Metode eksplanatif digunakan untuk menjelasakan mengapa penduduk seolah tidak sensitif terhadap bahaya letusan. Metode pengumpulan data meliputi survey, RRA (Rapid Rural Appraisal) dan Indepth Interview. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis spasial.
Hasil penelitian menunjukkan dinamika keterbukaan fisik terhadap bahaya letusan gunungapi pada abad 19 dan 20 ditandai erupsi semakin sering terjadi dengan magnitud letusan yang semakin kecil, berpusat pada  kubah lava yang menghasilkan awan panas guguran (Tipe Merapi) yang menuju sektor lereng tertentu. Meskipun bersifat sektoral, sektor lereng yang berisiko berubah-ubah sepanjang waktu, karena pusat aktivitas dan morfologi kawah berubah dari satu letusan ke letusan lainnya, sehingga distribusi produk erupsi pun berubah-ubah. Kerentanan penduduk meningkat, akibatnya bencana lebih sering terjadi meskipun magnitud letusan mengecil. Pada abad 19 letusan dengan magnitud sedang (VEI = 2) belum berdampak bencana, pada abad 20 letusan yang sama sudah menimbulkan bencana.
Penelitian juga menunjukkan sikap penduduk yang lenting terhadap bahaya bisa dipahami karena hanya sekitar sepertiga letusan yang menimbulkan bencana. Apalagi letusan bersifat sektoral dan dominan menuju sektor tertentu, sehingga sektor-sektor lainnya relatif aman untuk jangka waktu tertentu. Kebanyakan letusan pun tidak berdampak terlalu parah dan masih dalam batas toleransi mereka, sehingga penduduk beradaptasi dengan bahaya letusan tersebut. Akan tetapi adaptasi ini dapat menjadi berbahaya karena ada peningkatan ambang toleransi terhadap bahaya, sehingga sensitivitas terhadap bahaya berkurang. Akibatnya saat sektor lereng tersebut aktif kembali, penduduk tidak siap dan akibatnya bencana lebih sering terjadi.