Pengembangan Model Pengajaran Bahasa Indonesia Dengan Pendekatan Apresiasi Drama.

Kata kunci: model pengajaran, apresiasi drama.

Waluyo, Herman J.; Kartodirdjo, Suyatno; Setiawan, Budhi*)
Program Pascasarjana UNS, Penelitian, dikti, Hibah Pasca, 2006.
Buku ajar apresiasi drama yang representatif, bersifat apresiatif, dan memberikan kemungkinan untuk pementasan drama kiranya belum ada di khasanah sastra dan khasanah pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Yang ada adalah buku ajar dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang di dalamnya hanya memasukkan sangat sedikit materi tentang drama. Materi ajar Apresiasi Drama itu belum mencukupi dari segi keluasan dan kedalaman materi apresiasi, baik secara kognitif, afektif, terlebih-lebih untuk maksud psikomotor berupa pagelaran drama. Karena itu, melalui buku-buku teks yang dipakai di SMU saat ini, belum dapat dilaksanakan penghayatan terhadap drama khususnya dan sastra pada umumnya . Dengan menggunakan buku semacam itu, belum terpenuhi persyaratan untuk membentuk “the educated person” seperti yang dikemukakan oleh Moody (1989). Pengenalan secara memadai tentang materi drama Indonesia dan drama-drama penting dunia belum dapat dipenuhi melalui buku tersebut.
Buku ajar apresiasi drama hendaknya dapat membantu pencapaian tujuan pembelajaran apresiasi drama yang oleh Moody (1989: 59) untuk (1) membantu keterampilan berbahasa; (2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa; dan (4) menunjang pembentukan watak. Melalui mendengarkan drama, mementaskan drama atau fragmennya, membaca teks drama, dan menulis respons terhadap drama, keempat keterampilan berbahasa dapat dilatihkan melalui drama. Materi ajar Apresiasi Drama hendaknya memungkinkan siswa tidak hanya mengapresiasi naskah (teks) drama, namun juga mementaskan drama. Pementasan drama dapat dijadikan media aktualisasi diri bagi siswa. Dengan diberlakukannya pendekatan humanistik Maslow dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, aktualisasi diri yang dianggap sebagai proses belajar yang cukup penting itu, dapat dilatihkan melalui pagelaran drama (Sunardi, 2003:21).
Dalam metode pembelajaran yang bersifat inovatif, prinsip pendramaan (dramatisasi) sangat berperan (Connie S., 1995). Hal ini disebabkan dengan dramatisasi, terjadi proses keterlibatan (internalisasi) fisik/mental dan internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa terhadap materi pengajaran yang sedang dipelajari. Simulasi, sosiodrama, dan role-playing (yang menggunakan prinsip dramatisasi) banyak digunakan untuk pembelajaran yang bertujuan menanamkan nilai, tingkah laku, dan juga perubahan tingkah laku yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan metode- metode ekspositoris.
Karena di masa depan semua mata pelajaran harus diarahkan kepada kompetensi dalam bidangnya, yang membentuk kemampuan “life-skills” pada siswa seperti halnya ketentuan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka pendekatan atau basis yang digunakan dalam penyusunan model buku ajar disusun dengan berlandaskan pada basis kompetensi (cf. Mulyasa, 2002: 71). Basis kompetensi mengarahkan siswa untuk dapat memiliki “life skills”. Pembentukan kemampuan “life skills” dalam pengajaran drama berarti memungkinkan siswa mampu mencari nafkah melalui antara lain: menulis naskah drama, menulis skenario drama televisi, menulis resensi drama, drama televisi, berakting, bermain drama, dan jika dikembangkan lebih lanjut dapat memungkinkan siswa kelak menjadi pemain drama, sinetron, atau film profesional.
Drama adalah karya sastra dan karya seni (Bakdi Sumanto, 2001). Sebagai karya sastra, teks-teks drama dalam sastra Indonesia sangat jarang dibaca oleh siswa. Dalam penelitiannya di daerah Jawa Barat, Yus Rusyana (1989) mendapatkan hasil bahwa perbandingan pembacaan/apresiasi prosa : puisi: drama adalah 6 : 3 :1. Hal ini menunjukkan bahwa ketertibatan siswa dalam drama (naskah) sangat kurang. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan drama pentas.
Sebagai karya seni, pertunjukan drama sebenarnya sudah memasyarakat, membudaya, atau mentradisi karena di semua wilayah Indonesia ada jenis teater tradisional di Jawa Tengah cukup terkenal dan digemari oleh rakyat, antara lain ketoprak , srandul, dan gatoloco; di Jawa Timur ada lodruk, kentrung, topeng dhalang, dan reyog (yang biasanya juga menampilkan teater); di Sumatra Barat ada randai; di Jawa Barat ada tarling (Cirebon), ubrug, banjet, dan ketuk tilu; di daerah Betawi ada lenong, balntek, dan topeng Betawi (Kasim Achmad, 1981) sebagai teater tradisi. Teater tradisi pula yang telah menjiwai bangkitnya teater modern Indonesia dan naskah-naskah drama modern, seperti karya Wisran Hadi, Rendra, Arifin C.Noer, Akhudiat, N. Riantiarno, dan Heru Kesowo Murti (Putu Wijaya, 1981). Bahkan dramawan-dramawan muda seperti Hanindawan, St. Wiyono, Sosiawan Leak, dan Sitok Srengenge sangat menyadari peranan tradisi dalam mempengaruhi karya-karya drama mereka (Hanindawan, 1999).
Karena itu, pendekatan tradisi kiranya merupakan pendekatan yang dapat membantu meningkatkan daya tarik, minat, dan sikap positif kepada seni drama bagi para siswa. Dalam penelitian ini, tradisi dijadikan pendekatan di dalam memberikan variasi pemilihan materi dalam penyusunan buku ajar Apresiasi Drama. Jika mengingat bahwa kita sangat miskin naskah drama, maka dengan mempertimbangkan aspek tradisi penyediaan naskah drama yang menarik siswa kiranya dapat diatasi. Di dalam tradisi budaya kita, tersedia cerita yang berlimpah-limpah yang dapat dijadikan bahan mentah penyusunan naskah drama. (Waluyo, 2002).
Penelitian ini bermaksud menghasilkan buku ajar apresiasi drama yang berbasis kompetensi dan berdasarkan pendekatan tradisi. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap atau tiga tahun. Tahun pertama adalah tahap penqembanqan model buku ajar atau MSP atau silabus, yang dimulai dengan penyusunan prototype model yang dikembangkan melalui uji coba. Pada akhir tahun pertama dihasilkan model buku ajar untuk pelajaran Apresiasi Drama. Pada tahun kedua model buku ajar itu dikembangkan melalui uji coba di lapangan menjadi buku ajar Apresiasi Drama. Pada Tahun ketiga diadakan uji coba dengan eksperimen untuk menguji efektivitas buku ajar Apresiasi Drama di SMU melalui penelitian kuantitatif. Pada akhir tahun ketiga, didapatkan buku ajar andal yang telah teruji efektivitasnya melalui pengujian secara empirik.
Proto model, model, dan buku ajar Apresiasi Drama disusun bersama dan dikembangkan bersama oleh peneliti, guru-guru Apresiasi Drama di SMU, dan tokoh-tokoh pakar drama, dramawan, penerbit, pengamat drama, dan ahli pendidikan (kemudian disebut stakeholders).
Pengembangan model dan pengembangan buku ajar dilaksanakan melalui metode penelitian tindakan kelas (classroom action research) di daerah Surakarta yang meliputi SMU di Kota Surakarta, Sukoharjo, dan Karanganyar. Pemilihan SMU tempat uji coba adalah dengan cara purposive sampling. Sebelum pelaksanaan tindakan kelas, terlebih dulu diadakan lokakarya untuk focus group discussion dengan guru-guru pelaksana uji coba, kepala sekolah, petugas Depdiknas Kabupaten, dan para stakeholders. Kemudian diadakan training bagi para guru pelaksana uji coba di lima SMU tersebut dan bagi murid-murid tempat uji coba . Setelah itu, dikembangkan model buku ajar melalui uji coba minimal selama 3 siklus. Setiap akhir siklus diadakan refleksi dan rencana perbaikan untuk pelaksanaan siklus berikutnya.
Di samping itu, setiap awal tahun dan akhir tahun penelitian diadakan lokakarya (focus-group-discussion) secara kolaboratif antara peneliti, guru-guru, dan wakil murid, beserta para stakeholders. Lokakarya tersebut bermaksud untuk (1) merumuskan prototype model buku ajar, (2) merumuskan model buku ajar yang diterbitkan, (3) merumuskan buku ajar : dan (4) menentukan keungqulan buku ajar tersebut dibandingkan dengan buku ajar konvensional. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa pada akhir tahun kedua, buku ajar yang dikembangkan telah diterbitkan dan dilampirkan dalam laporan penelitian dan kemudian pada akhir tahun ketiga buku tersebut bila telah dinyatakan unggul dapat diterbitkan secara luas.