Masih sangat menarik ketika kita berbicara tentang gender dalam pandangan Islam. Berbagai perdebatan tentang ayat-ayat dalam Al Qur’an tentang bagaimana Islam memandang kesetaraan perempuan dan laki-laki menjadi sebuah alternative lain dalam perkembangan gender di masyarakat. Sebagian besar penduduk di Indonesia adalah muslim yang notabene memegang pedoman yang menjadi kitab sucinya dalam berperilaku sehari-hari. Orang-orang yang menganggap bahwa mereka tahu tentang bagaimana Islam dan pedoman dalam berperilaku seringkali masih terkesan mendiskreditkan perempuan.
Satu hal menarik adalah tentang keengganan beberapa elemen masyarakat yang tidak mau membicarakan gender karena dianggap menyalahi agama. Mereka berkedok dibalik agama dalam melakukan beberapa tindakan yang tidak berkeadilan gender. Satu pengalaman sendiri, ketika usulan matakuliah yang di dalamnya mengkaji tentang gender dalam konstruksi social budaya mendapat pertentangan dari orang-orang yang saya anggap tahu banyak tentang Islam merupakan serangkaian bagaimana gender masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Tetapi akhirnya matakuliah tentang gender dapat diterima dengan berbagai argumentasi yang sangat rasional. Hal ini memang perlu mendapatkan suatu pencerahan tersendiri bahwa penafsiran yang ‘beda’ dalam memandang ayat-ayat Al Qur’an memang harus mendapat kajian tersendiri sehingga ke depan masyarakat tidak mendapatkan suatu penjelasan yang mengada-ada.
Dalam diskusi Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam dengan pembicara Drs. Mudaris Muslim oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) LPPM UNS, Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS ini memaparkan bahwa Gender sebagai dasar pembagian tanggungjawab laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan secara sosial dan kultural BUKANLAH KODRAT TUHAN melainkan suatu pembedaan yang dihasilkan dan disosialisasikan melalui sejarah yang panjang. Oleh karena itu gender berbeda dari zaman ke zaman dari suatu tempat ke tempat lain dari suatu kelas ke kelas lain. Gender sangat berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan social dan budaya dimana mereka berada. Dan salah satu bentuk proses keyakinan itu adalah melalui doktrinasi agama. Satu hal menarik dalam pembicaraa tadi adalah bahwa agama oleh sebagian besar pengikutnya diberikan tafsir dan interpretasi sehingga berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang menindas kaum perempuan.
Dalam diskusi tadi banyak pertanyaan yang menjadi isu besar dalam masyarakat yaitu tentang bagaimana Islam memandang sebuah perkawinan. Perdebatan tentang boleh tidaknya kawin siri, kawin kontrak ataupun poligami menjadi perbincangan yang cukup keras karena banyaknya kaum laki-laki yang melakukan praktik pernikahan tersebut dengan kedok menjalankan perintah agama. Sebuah paradigma yang mendiskreditkan perempuan karena perempuan seolah-olah tidak mempunyai hak untuk menolak atau menerima. Dan anehnya banyak masyarakat menerima dan menjadikan ini sebagai sesuatu hal sangat menguntungkan. Misalnya di beberapa kota di Jawa Barat menyediakan perempuan-perempuan yang bisa dijadikan istri kontrakan untuk pengusaha-pengusaha Timur Tengah yang datang ke Indonesia tanpa keluarga. Sayangnya lagi yang menjual perempuan ini adalah keluarganya sendiri (ayah atau ibu). Sebuah praktik prostitusi yang berkedok agama.
Dalam makalahnya, Mudaris Muslim menyatakan bahwa perempuan dalam Islam memiliki kedudukan yang penting terutama bagi penyiapan generasi penerus karena perempuan adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak manusia. Begitu pentingnya nilai perempuan tertera dalam sabda Rasulullah yang berbunyai sebagai berikut:
“ Surga berada di bawah telapak kaki para kaum Ibu”
“Wanita itu adalah tiang Negara jika perempuan baik maka baiklah Negara itu dan jika perempuan rusak maka rusak pulalah Negara itu”
Ada banyak hal perilaku keteladanan Nabi yang kurang diperhatikan misalnya diperbolehkannya Zainab (istri Rasulullah) bekerja, Rasulullah yang menjahit sendiri pakaiannya yang robek dan menyiapkan minuman untuk anak dan istrinya. Ini semua mengindikasikan bahwa keteladanan Nabi yang harus dicontoh tidak hanya persoalan poligami.
Satu diskusi menarik adalah bahwa pengenalan konsep kawin siri identik dengan Islam masih menjadi perdebatan sejak kapan itu ada dan bagaimana bisa terjadi karena UU Perkawinan telah ada sejak tahun 1974 yang artinya bahwa perkawinan itu sah adalah menggunakan hokum Negara yaitu melalui KUA misalnya.
Harapan ke depan bahwa diskusi ini akan di lakukan follow up sehingga apa yang menjadi pemikiran sekarang ini tidak mengambang dan hanya sebatas pemikiran tanpa aktion yang jelas. Tema yang masih sangat luas ini harapannya akan dibedah satu persatu sehinga lebih mendalam dan mendasar penjelasannya.
Diskusi ini akhirnya ditutup dengan sebuah puisi dari narasumber yang berjudul “Hasrat Untuk Berubah” yang intinya bahwa untuk mengubah sesuatu hal kecil yang terjadi dimanapun yang pertama dan utama adalah mengubah diri sendiri dahulu. Untuk mengedepakan pemikiran gender dalam segala bidang kehidupan perlunya kesadaran individu untuk mau berubah sehingga apa yang menjadi sebuah cita-cita perjuangan gender akan terwujud (atik_cb).